jihad adalah jalan juangku
KISAH PUTERA KHALIFAH HARUN AR RASYID ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Khalifah Harun Ar Rasyid rah.a mempunyai
seorang putera sekitar enam belas tahun. Ia sering bergaul dengan para
ahli zuhud dan tokoh-tokoh agama pada masa itu.
Ia sering mengunjungi tanah kuburan, duduk di tepi kubur dan berkata, "Ada masanya
ketika kamu tinggal di dunia ini dan kamu sebagai tuannya, tetapi
ternyata dunia tidak melindungimu dan nasibmu berakhir di kubur.
Seandainya aku tahu apa yang engkau alami sekarang ini, tentu aku ingin
mengetahui apa yang kamu katakan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang ditanyakan kepadamu."
Ia sering membaca syair :
Pemakaman menakutkanku setiap hari dan ratapan wanita-wanita yang berduka cita membuatku sedih.
Pada suatu hari, anak itu datang ke istana ayahnya Harun Ar Rasyid,
yang sedang duduk bersama ajudan pribadinya, para pejabat dan tamu-tamu
terhormat lainnya. Sedangkan puteranya itu berpakaian sangat sederhana,
dengan sorban di kepalanya. Ketika orang-orang istana itu melihatnya
demikian, mereka berkata, "Keadaan anak ini menghina Amirul Mukminin di
hadapan para bangsawan, jika ia dapat memperingatkannya, mungkin anak
itu akan menghentikan kebiasaannya."
Khalifah mendengar ucapan
itu, maka ia berkata kepada anaknya, "Anakku sayang, engkau telah
mempermalukanku di hadapan para bangsawan."
Anak itu tidak
berkata sepatah katapun atas ucapan ayahnya. Bahkan ia memanggil seekor
burung yang bertengger di dekat situ, "Wahai burung, aku memohon
kepadamu, demi Dzat yang menciptakanmu, datanglah dan duduklah di atas
tanganku."
Burung itu terbang menghampirinya dan hinggap di
atas tangannya. Kemudian anak itu menyuruhnya terbang lagi, dan burung
itu pun terbang lagi ke tempat semula. Kemudian ia berkata kepada
ayahnya, "Ayahku sayang, sesungguhnya kecintaanmu kepada dunia inilah
yang memalukan diriku. Aku telah memutuskan untuk berpisah denganmu."
Setelah berkata demikian, ia pergi hanya berbekal Al Quran saja.
Ketika ia memohon pamit kepada ibunya, ibunya memberi sebuah cincin
yang sangat indah dan mahal, (agar ia dapat menjualnya jika ia
memerlukan uang). Anak laki-laki itu pergi ke Basrah, dan bekerja
bersama para buruh. Namun ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan ia
gunakan upahnya sehari untuk satu minggu, dengan menggunakan (satu
danaq) seperenam dirham setiap hari.
Kisah selanjutnya
diceritakan oleh Abu Amir Bashri rah.a., ia berkata, "Pada suatu ketika,
sebelah dinding rumahku roboh dan aku membutuhkan seorang tukang batu
untuk memperbaikinya. Ada seseorang yang memberitahuku bahwa ada seorang
anak laki-laki yang dapat mengerjakan pekerjaan tukang batu.
Maka akupun mencarinya. Di luar kota, aku melihat seorang pemuda tampan
sedang duduk di tanah sambil membaca al Quran dengan sebuah tas di
sisinya. Aku menanyainya, apakah ia mau bekerja sebagai buruh? Ia
menjawab, "Tentu, kita telah diciptakan untuk bekerja. Pekerjaan apakah
yang tuan inginkan untukku?"
Kukatakan bahwa aku membutuhkan
seorang tukang batu untuk mengerjakan bangunan. Ia berkata, "Aku mau
asalkan upahku satu dirham dan satu danaq sehari. Dan aku akan berhenti
kerja dan pergi ke masjid bila tiba waktu shalat, kemudian kulanjutkan
pekerjaan tersebut setelah shalat." Aku menyetujuinya.
Akhirnya
ia ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu. Pada sore harinya,
aku kembali, dan aku sangat terkejut melihat bahwa ia telah melakukan
pekerjaan seperti sepuluh orang tukang batu yang mengerjakannya. Akupun
memberinya dua dirham. Tetapi ia menolak upah yang melebihi satu dirham
dan satu danaq. Kemudian ia pergi hanya dengan upah yang telah
disetujui.
Keesokan paginya, aku pergi lagi mencarinya, tetapi
aku diberi tahu bahwa ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan tiada
seorangpun yang dapat menemukannya pada hari-hari lainnya. Karena aku
sangat puas dengan pekerjaannya, maka kuputuskan untuk menunda
pembangunan dindingku pada Sabtu depan. Pada hari Sabtu itu, aku
mencarinya lagi dan kudapati ia di tempat yang sama sedang membaca al
Quran sebagaimana biasa. Aku mengucapkan salam kepadanya, "Assalamu
Alaikum."
"Wa Alaikumus Salam." Balasnya.
Ia bersedia bekerja lagi untukku dengan syarat yang sama. Ia pun ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu lagi.
Disebabkan rasa heranku, bagaimana ia dapat mengerjakan pekerjaan
sepuluh orang pekerja seorang diri seperti pada hari Sabtu yang lalu,
maka akupun mengintipnya bekerja tanpa sepengetahuannya. Aku melihatnya
dengan sangat takjub, bahwa ketika ia meletakkan adukan semen di
dinding, maka batu-batu itu dengan sendirinya menyatu. Akhirnya aku
sadar dan meyakini bahwa anak itu adalah kekasih Allah Swt. Sebagaimana
hamba-hamba-Nya yang khusus saja yang mendapatkan pertolongan ghaib
seperti itu dari Allah Swt.
Sore harinya, aku ingin memberinya
tiga dirham, tetapi ia hanya mengambil satu dirham dan satu danaq
kemudian pergi, sambil berkata, "Aku tidak membutuhkan lebih dari ini."
Aku menunggu minggu berikutnya, lalu aku mencarinya pada Sabtu
berikutnya, tetapi aku tidak berhasil menemukannya.
Aku
bertanya kepada orang-orang. Ada seorang laki-laki memberitahuku bahwa
anak itu sedang mengalami sakit selama tiga hari dan berbaring di tempat
yang sepi. Kemudian aku membayar seseorang untuk mengantarkanku ke
tempat itu. Setibanya di sana, ia sedang berbaring di atas tanah tak
sadarkan diri. Kepalanya berbantalkan sepotong batu. Aku menyalaminya,
tetapi ia tidak membalasnya.
Aku berkata, "Assalamu Alaikum."
lebih keras lagi. Ia membuka matanya sedikit dan mengenaliku. Aku
baringkan kepalanya di pangkuanku, tetapi ia kembali meletakkan
kepalanya di atas batu, dan membaca beberapa syair. Dua diantaranya
masih kuingat, berbunyi demikian :
"Wahai kawanku, janganlah
engkau terpedaya dengan kemewahan dunia. Karena hidupku akan berlalu.
Kemewahan hanyalah untuk sekejap mata. Dan bila engkau mengusung jenazah
ke pemakaman, ingatlah suatu hari engkaupun akan diusung ke pemakaman."
Kemudian anak itu berkata kepadaku, "Abu Amir! Jika ruhku telah
melayang, mandikanlah aku dan kafanilah aku dengan pakaian yang kupakai
sekarang."
Sahutku, "Sayangku, aku tidak keberatan membelikan kain baru untuk kafanmu."
Ia berkata, "Orang yang masih hidup lebih menginginkan pakaian yang baru daripada yang mati."
Anak itu menambahkan, "Kafan (lama ataupun baru) akan segera membusuk.
Yang tinggal dengan seseorang setelah kematian adalah amal perbuatannya.
Berikan sorban dan kendi airku kepada penggali kuburku dan jika engkau
telah memakamkanku, sampaikan al Quran dan cincin ini kepada khalifah
Harun Ar Rasyid. Tolonglah agar langsung ke tangannya dan katakan
kepadanya, "Benda-benda itu dipercayakan kepadaku oleh seorang lelaki
asing yang memintaku untuk menyampaikannya kepada engkau dengan pesan,
"Wahai ayah, perhatikanlah, jangan sampai engkau meninggal dalam
kelalaian dan terpedaya oleh dunia."
Dengan kata-kata itu di bibirnya, anak itu meninggal dunia. Saat itu barulah kusadari bahwa anak itu adalah seorang pangeran.
Setelah wafat, akupun memandikannya, mengafaninya dan membaringkannya
dalam kubur sesuai dengan pesannya. Lalu kuberikan sorban dan lothanya
kepada penggali kuburnya. Kemudia aku pergi ke Baghdad untuk
menyampaikan cincin dan al Quran kepada khalifah.
Sungguh
beruntung, setibanya aku di sana, baru saja iringan khalifah keluar
istana. Aku berdiri di sebuah tempat yang agak tinggi sambil
memperhatikan pawai itu. Tidak lama kemudian keluarlah satu pasukan
terdiri dari seribu orang berkuda, diikuti oleh sepuluh pasukan lagi
yang masing-masing terdiri dari seribu orang berkuda.
Diantara
pasukan yang terakhir, terlihatlah Amirul Mukminin, maka akupun langsung
memanggilnya dengan berteriak, "Amirul Mukminin, aku mohon kepadamu,
atas nama hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah Saw., berhentilah
sebentar."
Amirul Mukminin berhenti dan melihat sekeliling,
lalu aku maju kedepannya dan menyerahkan kedua benda amanat dari
almarhum putera pangeran itu, lalu aku berkata, "Benda-benda ini telah
dipercayakan kepadaku oleh seorang pemuda asing yang kini telah
meninggal dunia, ia berwasiat agar benda-benda ini disampaikan langsung
ke tangan tuan."
Khalifah memandangi cincin dan al Quran itu
sambil menundukkan kepalanya dengan sedih. Aku melihat air matanya
mengalir, kemudian ia menyuruh pengurus istana untuk mengantarku ke
istananya. Aku tinggal bersama pengurus istana itu.
Setelah
khalifah kembali pada sore harinya. ia menyuruh agar tirai-tirai istana
diturunkan, dan menyuruh pengurus istana agar agar membawaku ke
hadapannya, kemudian ia berkata, "Lelaki itu hanya akan menimbulkan
kesedihan bagiku."
Pengurus istana menemuiku dan berkata,
"Amirul Mukminin memanggilmu, namun ingatlah, jiwanya sedang bergoncang.
Jika engkau ingin mengatakan sesuatu dalam sepuluh kata, cobalah
mengatakannya dengan lima kata saja."
Kemudian ia
mengantarkanku ke kamar pribadi khalifah. Kulihat khalifah sedang duduk
seorang diri, lalu ia menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Ia bertanya
kepadaku, "Apakah kamu mengenal anakku?"
Jawabku, "Ya."
Ia bertanya, "Apa saja yang ia lakukan untuk menafkahi hidupnya?"
Kukatakan bahwa ia bekerja sebagai tukang batu. Amirul Mukminin
bertanya, "Apakah engkau juga pernah mempekerjakannya sebagai tukang
batu?"
Aku berkata, "Ya, pernah kulakukan."
Amirul
Mukminin berkata, "Apakah tidak terpikir olehmu, bahwa ia berhubungan
keluarga dengan Rasulullah Saw.?" (Harun Ar Rasyid adalah keturunan
Abbas r.a. paman Rasulullah Saw.)
Jawabku, "Wahai Amirul
Mukminin! Pertama aku memohon ampun kepada Allah Swt. dan aku meminta
maaf kepadamu, karena aku mengetahuinya setelah ia meninggal dunia."
Khalifah berkata, "Apakah engkau memandikannya dengan tanganmu sendiri?"
Aku berkata, "Ya."
Ia berkata, "Biarlah kusentuh tanganmu." Kemudian ia memegang tanganku
ke dadanya dan mengusap-usap dadanya dengan tanganku, lalu ia membaca
beberapa bait syair yang bunyinya :
"Wahai engkau yang menjauhkan dariku.
Hatiku larut dalam kesedihan atasmu.
Mataku mengalirkan air mata penderitaan.
Wahai engkau yang jauh pemakamannya.
Terlalu jauh. Kesedihanmu lebih dekat di hatiku.
Benar, kematian itu membingungkan kesenangan yang tertinggi di dunia.
Wahai anakku yang menjauh dariku.
Engkau bagai bulan yang tergantung di atas dahan perak.
Bulan telah menetap di kubur, sedang dahan perak menjadi debu."
Kemudian Harun Ar Rasyid memutuskan untuk pergi ke Basrah mengunjungi
makam puteranya dan aku menemaninya. Ketika berdiri di sisi makam
puteranya, Harun Ar Rasyid membaca syair berikut ini :
"Wahai pengembara ke alam yang tidak diketahui.
Tidak akan engkau kembali ke rumah.
Kematian telah merengutmu di awal masa remajamu.
Wahai penyejuk mataku, engkaulah pelipur laraku.
Kediaman hatiku, di kesunyian.
Engkau telah merasakan racun kematian.
Yang seharusnya ayahmulah yang minum di usia tuanya.
Sungguh setiap orang akan merasakan kematian.
Apakah ia seorang pengembara atau penduduk kota.
Segala puji bagi Allah Yang Esa. Yang tidak mempunyai sekutu.
Karena ini adalah bukti dari keputusannya."
Pada malam berikutnya setelah menunaikan kebiasaan ibadah harianku,
dalam tidurku aku bermimpi melihat sebuah istana berkubah penuh nur. Di
atasnya ada awan dari nur yang menaunginya. Dari awan nur itu keluarlah
suara almarhum pemuda itu yang berkata, "Abu Amir, Semoga Allah Swt.
menganugerahimu pahala terbaik."
Aku bertanya kepadanya, "Sahabatku, apa yang telah engkau alami di alam sana?"
Ia berkata, "Aku telah diakui di hadapan Tuhanku Yang Maha Pemurah dan
Yang merasa senang denganku. Ia telah memberiku karunia yang mata tidak
pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengarnya dan akal tidak
dapat memikirkannya."
Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, "Di
dalam Taurat tertulis bahwa Allah Swt. menyiapkan suatu karunia bagi
mereka yang meninggalkan tempat tidurnya untuk menangis kepada Tuhan
mereka (dalam shalat Tahajjud) yang tidak pernah mata melihatnya, tidak
pernah telinga mendengarnya, tidak pernah terpikirkan oleh akal
seseorang dan tidak ada seorangpun atau malaikat yang mengetahuinya, dan
tidak pernah diketahui oleh siapapun. Allah Swt. berfirman di dalam al
Quran :
AsSajdah
"Seorang pun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan." (As Sajdah ayat 17)
Kemudian arwah pemuda itu
berkata kepadaku (dalam mimpi), "Allah Swt. telah berjanji kepadaku,
bersumpah demi keagungan-Nya. bahwa Ia akan menganugerahi kehormatan dan
karunia semacam itu kepada semua yang keluar dari dunia seperti aku,
tanpa ternodai olehnya"
Penulis Raudh berkata bahwa kisah ini
juga telah sampai kepadanya melalui periwayat yang lain. Ditambahkan
dalam riwayat ini bahwa seseorang bertanya kepada Harun Ar Rasyid
mengenai puteranya. Ia berkata, "Puteraku dilahirkan sebelum aku
diangkat sebagai khalifah. Ia diasuh dan diajarkan adab dan sopan santun
dengan sangat baik. Ia telah mempelajari al Quran dan ilmu-ilmu agama
lainnya.
Tetapi ketika aku diangkat menjadi khalifah, ia
meninggalkanku dan pergi. Kebesaran duniawiku tidak memberikan
kesenangan dalam hidupnya. Dan ia tidak ingin memanfaatkannya
sedikitpun. Ketika ia akan pergi, aku meminta ibunya agar memberinya
sebuah cincin mutiara yang indah. Namun ia menolak memakainya dan
mengirimnya kembali sebelum ia wafat. Anak itu sangat patuh kepada
ibunya." (Raudh)
Harun Ar Rasyid rah.a, -yang puteranya tidak
menyukai dunia- terkenal sebagai khalifah yang sangat shaleh dan
budiman. Biasanya, jika seseorang memilki kekuasaan dan harta kekayaan,
suka tergelincir dalam perbuatan-perbuatan buruk, tetapi sejarah
membuktikan bahwa ia banyak terjun dalam hal agama.
Selama
masa kekhalifahannya, ia shalat nafil seratus rakaat setiap hari hingga
wafatnya. Ia suka bersedekah dari saku pribadinya seribu dirham setiap
hari. Ia juga memimpin pasukan jihad dan beribadah haji dua tahun
sekali.
Apabila beribadah haji, ia membawa seratus alim ulama
dan putera mereka bersamanya. Dan pada tahun-tahun ia berjihad, ia akan
mengirim tiga ratus orang rakyatnya untuk pergi haji. Ia menanggung
biaya-biaya perjalanan, makanan dan pakaian mereka. Ia memberikan
pelayanan dan pakaian yang terbaik untuk mereka. Ia pun biasa memberi
hadiah kepada siapapun yang meminta pertolongannya, dan menolong
siapapun atas kehendaknya tanpa diminta. Ia sangat mencintai alim ulama,
yang mendapat penghormatan tersendiri di istananya.
Suatu
ketika, muhaddits terkenal Abu Muawiyah ad Dharir (bermakna yang buta)
makan bersama Harun Ar Rasyid. Setelah makan, ketika ulama buta itu
berdiri untuk mencuci tangannya, khalifah langsung mengucurkan air ke
atas tangannya., dan berkata bahwa ia melakukan itu karena
penghormatannya kepada ilmunya.
Abu Muawiyah ad Dharir rah.a.
berkata, "Suatu ketika, pada saat aku menceritakan kepadanya tentang
hadits Rasulullah Saw. tentang perdebatan antara Adam a.s. dan Musa a.s.
ada seseorang laki-laki yang duduk di dekatnya berkata, "Di mana mereka
telah bertemu?"
Mendengar hal ini, Harun Ar Rasyid langsung
berseru marah, "Mana pedangku? Biar kupenggal leher orang zindiq ini. Ia
berani membantah hadits Rasulullah Saw.?"
Dan Harun Ar Rasyid sering menangis keras bila ada nasehat yang ditujukan kepadanya. (Sejarah Baghdad- Al Khatib).
Wallahu a’lam bish-shawab ...
Barakallahufikum ....
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...