Etika Saat Bercinta
Hubungan
suami istri dalam Islam diatur dengan peraturan yang santun dan penuh
etika, sehingga senggama yang dilakukan serasa indah dan nikmat.
Diantara etika yang harus diperhatikan pasangan suami istri yang
menyalurkan hasrat biologisnya ialah:
Pertama, Pemanasan Cinta (fore play). Dalam sebuah hadis dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Seseorang
diantara kamu janganlah sekali-kali menyetubuhi istri seperti seekor
hewan bersenggama, tetapi hendaklah ia dahului dengan perantaraan
(pemanasan). Salah seorang sahabat ada yang bertanya, Apakah perantaraan itu? Rasulullah SAW berujar: Yaitu ciuman dan ucapan romantis (HR
Bukhari dan Muslim). Cumbu rayu sebelum bercinta merupakan alat vital
membangkitkan gairah seksual. Maka selazimnya bagi seorang suami untuk
melakukan 'gerakan' pemanasan sebelum bercinta, dengan bisikan kata-kata
manis nan mesra kepada sang istri, semisal: memuji kecantikannya,
kemulusan tubuhnya, mengapresiasi dedikasi dan ketaatannya, agar sang
istri benar-benar tersanjung dan fokus dengan percintaan yang hendak
dilakukan. Dengan demikian, jiwa sang istri bakal menyatu dengan jiwa
sang suami dalam bercinta.
Setelah jiwa sang istri terpanggil
(muncul gairah) untuk bercinta, hendaknya sang suami beralih dari
'bahasa kata' ke 'bahasa gerak'. Caranya, dengan mencium kening sang
istri, mengulum bibirnya dengan penghayatan yang utuh, lalu menyentuh
bagian-bagian tubuh sensitif wanita, mendekap erat tubuh sang istri,
merasakan detak nafasnya, sehingga keduanya tidak saja lekat secara
ragawi, namun juga secara ruh. Rasulullah SAW sangat memperhatikan
pemanasan cinta ini, sebagaimana tersirat dalam sabdanya: Janganlah
sampai salah seorang diantara kalian menggauli isterinya seperti
binatang, melainkan hendaknya dilakukan pemanasan diantara keduanya. Salah seorang sahabat bertanya: Apakah sejatinya yang dimaksud dengan pemanasan itu, wahai utusan Allah? Rasulullah SAW menjawab: Ciuman dan kata-kata rayuan (HR
al-Dailami). Bahkan dalam hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah,
Rasulullah SAW dengan tegas melarang bercinta (senggama) yang tidak
didahului dengan pemanasan cinta. Jabir menandaskan: Rasulullah SAW melarang persetubuhan sebelum dialkukan cumbu rayu (pemanasan cinta).
Seorang
suami selazimnya mengetahui bagian-bagian tubuh wanita yang erotis, dan
'menjelajahinya' (menyentuhnya) saat bercinta, itu dilakukan demi
menggapai kenikmatan senggama. Diantara bagian-bagian sensitif dan
erotis tubuh wanita ialah: kening, pelupuk mata, hidung, pipi, tengkuk,
leher, daun telinga dan belakang telinga, puting payudara, bibir dan
lidah, mulut bagian dalam, paha, ketiak, perut terutama pusar perut,
daerah sekitar kemaluan (vagina), tumit. Bagian-bagian tubuh tersebut
merupakan zona erotis yang musti disentuh para suami, guna membangkitkan
rangsangan seksual pada saat bercinta. Hubungan intim antara suami
istri sering hambar (tak bernilai) atau bahkan gagal, oleh sebab
mengabaikan pemanasan cinta (fore play) tersebut. Sebab senggama tanpa pemanasan hanya bersetubuh. Sedang bercinta perlu 'kebangkitan' rasa dan ruh.
Kedua, Mengulum dan Mengisap Lidah.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dituturkan, bahwa
sesungguhnya saat bercinta Rasulullah SAW mencium dan mengulum bibir
Aisyah. Rasulullah SAW juga mengisap lidah istri terkasihnya tersebut
(HR Abu Dawud). Mengulum bibir dan mengisap lidah adalah tanda
kepasrahan seutuhnya dalam bercinta. Cara bercinta seperti ini juga
membantu para suami untuk tetap 'perkasa' (digdaya) dalam hubungan
intim. Lebih daripada itu, kuluman dan hisapan juga menambah rasa nikmat
senggama, oleh sebab bersatunya nafas pasangan suami istri yang
bersetubuh. Karenanya, sebelum bercinta para suami dan istri disunnahkan
bersih-bersih diri. Lain daripada itu, kuluman bibir dan isapan lidah
akan membuat istri terpacu untuk pasrah jiwa raga secara utuh kepada
sang suami. Dan kepasrahan yang utuh dalam bercinta akan melapangkan
jalan bagi raihan kenikmatan hakiki senggama.
Ketiga, Tenang dan Lembut.
Hubungan intim dengan istri harus dilakukan dengan tenang dan lembut.
Masing-masing diantara suami istri tidak seharusnya berbuat gaduh,
semisal dengan bersuara untuk mengekspresikan kenikmatan yang
direguknya, lebih-lebih tergesa-gesa dalam 'menyentuhkan' organ vital ke
pasangannya. Ketika sang suami hendak memasukkan penis ke dalam vagina
istrinya, hendaknya dilakukan dengan tenang dan lembut. Masing-masing
harus membaca basmalah. Ketenangan dan kelembutan dalam
bercinta sangatlah penting, sebab hal itu akan menyembulkan rasa dan
menghadirkan kenikmatan yang utuh, sehingga senggama yang dilakukan bisa
melahirkan kepuasan. Dalam hadis yang diriwayatkan Ummu Salamah,
dituturkan, bahwa saat bercinta Rasulullah SAW berpesan kepada istrinya
untuk tenang. Rasulullah SAW lalu memejamkan mata istrinya, dan menutup
kepala sang istri, sambil berujar lembut: Tenanglah engkau wahai belahan jiwaku.
Keempat, Bercinta dengan Posisi Terbaik.
Dalam bersenggama, hendaknya diperhatikan dengan seksama posisi
bercinta, agar laku senggamanya tidak keluar dari aturan syariat Islam,
atau bahkan dimurkai Allah. Rasulullah SAW bersabda: Datangilah
istrimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi awas (jangan
menyetubuhi) pada dubur dan (jangan pula) dalam keadaan haid (HR
Ahmad dan Tirmidzi). Dalam ajaran Islam posisi bercinta terbaik ialah:
suami berada di atas dengan posisi istri terlentang di bawah tubuh sang
suami, laksana hamparan. Dalam sebuah riwayat dituturkan: Anak bakal menjadi milik yang menjadi hamparan (istri).
Posisi bercinta yang seperti itu, tidak saja membuat para suami leluasa
bergerak, namun juga membuat para istri merasa nyaman, dan merasakan
kepuasan seksual. Sebab dengan posisi bercinta seperti itu, memungkinkan
alat kelamin sang suami menancap dalam-dalam ke vagina sang istri.
Andaipun penis sang suami berukuran besar, 'lahan' sang istri bisa
menampungnya secara utuh, sebab paha sang istri bisa dihamparkan seluas
mungkin. Lebih daripada itu, dengan posisi seperti ini, masing-masing
pasangan bisa berimprovasi dalam bercinta.
Karenanya, bani Hawa (kaum wanita) disebut juga al-Firasy (permadani), sebagaimana dituturkan sang Rasulullah SAW: Membuat anak adalah dengan permadani.
Ungkapan Rasulullah SAW tersebut merupakan sebuah kiasan (metafora)
serta penegasan bahwa dengan posisi perempuan berada di bawah saat
bersetubuh, akan mempercepat proses pembuahan janin yang membuahkan
(dapat melahirkan) anak, berikut merupakan penegasan akan ketinggian
kaum laki-lai terhadap kaum wanita, sejalan dengan pesan al-Quran: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (QS al-Nisa' / 4: 34). Kaitannya dengan posisi bersenggama ini, Allah berfirman dalam pesan al-Quran: Mereka itu adalah pakain bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (QS al-Baqarah / 2: 187).
Ada
sebagian pasangan suami istri yang suka posisi wanita di atas dan
laki-laki di bawah. Posisi semacam itu jelas tidak sesuai dengan posisi
normal dan bertentangan dengan kodrat penciptaan laki-laki dan
perempuan, serta berseberangan dengan 'hukum' kelaki-lakian dan
kewanitaan. Posisi semacam itu banyak melahirkan madharat (risiko
bahaya), sebab akan menyulitkan keluarnya sperma, lebih daripada itu,
air sperma yang keluar tidak akan tertampung ke ovum dalam vagina
perempuan. Bahaya lainnya ialah tumpahnya kotoran-kotoran dari vagina
perempuan ke penis serta tubuh laki-laki, juga sperma laki-laki tidak
akan sampai ke rahim perempuan, yang menyebabkan tidak adanya pembuahan
janin. Apabila tidak ada pembuahan, bagaimana mungkin akan terjadi
kehamilan dan kelahiran? Lain daripada itu, secara kodrati posisi
perempuan dalam hal seksualitas ini adalah sebagai objek sedangkan
laki-laki adalah subjek, demikian pula secara kodrati laki-laki lebih
kuat ketimbang perempuan. Secara semantis, logikanya, subjeklah yang
mempola objek, bukan objek yang mengatur subjek.
Dalam sebuah
riwayat dituturkan, kaum Ahlul Kitab (pemeluk Yahudi dan Nasrani)
menggauli perempuan mereka dari samping, bukan dari atas atau bawah,
menurut pengakuam mereka posisi dari samping itu sangat menguntungkan
bagi wanita, serta gerakan wanita jadi lebih 'trengginas' (gesit) dalam
bersetubuh. Dikisahkan pula, kaum tradisional Quraisy dan Anshar jamak
mulai mencumbu perempuan mereka dari arah bagian belakang kepala.
Komunitas Yahudi memprotes cara bercinta komunitas Quraisy dan Anshar
tersebut, sehingga turunlah ayat al-Quran: Istri-istri kamu adalah
bagaikan tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tenah tempat
bercocok tanam-mu itu bagaiman saja kamu kehendaki (QS al-Baqarah / 2: 223).
Dalam
kitab Shahih Bukhari dan Muslim, dituturkan hadis yang diriwayatkan
Jabir bin Abdullah. Ada seorang pemeluk Yahudi berkata: Jika seorang menggauli istrinya dari arah belakang dengan cara memangkunya, maka anaknya akan lahir cacat mental, maka turunlah ayat ayat al-Quran: istri-istri
kamu adalah bagaikan tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok tanam-mu itu bagaimana saja kamu kehendaki.
(QS al-Baqarah / 2: 223). Imam Muslim juga meriwayatkan, kalau si
laki-laki suka, ia bisa mengangkat bahu si perempuan saat dipangku,
kalau tidak suka tidak perlu diangkat, yang penting zakarnya tidak
dimasukkan kepada selan vagina. Adapun bersenggama dengan cara-cara
seperti binatang, oral seks, sodomi, serta gaya-gaya 'liar' lainnya,
sangat dikecam para nabi dan rasul terdahulu, dan jelas dilarang keras
oleh agama.
http://akukha.blogspot.co.id/2011/08/bercinta-seperti-rasulullah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar